- Open Source Bukan OS Alternatif - 3 Juli 2020
- Mengapa Dunia Pendidikan Harus Belajar Gunakan Open Source Software - 9 Maret 2020
- Strategi Tingkatkan Angka Partisipasi Sekolah - 5 Maret 2020
Desa membuktikan diri sebagai peletak dasar demokrasi asli. Rembug Desa menjadi ruang bagi beragam unsur masyarakat untuk merumuskan isu-isu strategis di wilayahnya. Jauh dari pendekatan demokrasi prosedural, Rembug Desa justru memberikan ruang yang luwes dan luas bagi warga untuk terlibat, tak terkecuali kelompok rentan dan terpinggirkan.
Desa Wlaharwetan, Kalibagor, Banyumas akan mendokumentasikan praktik Rembug Desa, disebut Musyawarah Desa dalam UU No 6 tahun 2014, dalam sebuah film dokumenter. Film itu akan menunjukkan proses penyelenggaraan Musyawarah Desa, mulai dari persiapan, penyelenggaraan, hingga tindaklanjut hasil-hasilnya.
Gagasan untuk mendokumentasikan Musyawarah Desa disampaikan oleh Dodiet Prasetyo, Kepala Desa Wlahar Wetan. Gagasan itu dia bagi ke para mitranya di Gerakan Desa Membangun (GDM). Mereka menyambut antusias ide tersebut, termasuk saat Dodiet mempersiapkan tetek-bengek untuk mewujudkannya. Situadi itu membuat Kades muda itu makin bersemangat.
Persiapan awal adalah menyiapkan storyboard film. Ada tiga mahasiswa jurusan komunikasi yang tengah menjadi relawan dari Gedhe Foundation mengajukan diri sebagai tim kerja. Para mahasiswa mempelajari kegiatan dan piranti pendukung penyelenggaraan Musyawarah Desa. Hasilnya, storyboard film dapat dirampungkan.
Berbekal storyboard di atas, tim Pemerintah Desa dan Gedhe Foundation menyusun skenario film. Dalam pembuatan film, tantangan utamanya adalah target telah berubah. Film tak sekadar merekonstruksi penyelenggaraan Musyawarah Desa, tapi dia dapat menjadi bahan rujukan bagi desa-desa lain dalam penyelenggaraan forum permusyawaratan tertinggi di desa itu.
Wuih, tim bekerja keras. Dodiet bolak-balik, Wlaharwetan-Sumampir (sekretariat Gedhe) untuk sekadar ngopi bareng dan berdiskusi. Tak disangka, mitra baru muncul. Impro, sebuah rumah produksi film di Jakarta, tengah menggarap video Inspirasi Desa. Mereka butuh topik atau bahan yang dapat diproduksi film yang mampu menggugah desa untuk bergerak.
Akibat jarak yang cukup jauh, langkah komunikasi Impro dan Desa Wlaharwetan dilakukan melalui vide conference. Dalam obrolan itu, Impro tertarik pada tiga gagasan penting dalam penyelenggaraan Musyawarah Desa di Wlahar Wetan, yaitu representasi, akurasi data, dan inklusi sosial. Akhirnya Senin (7/3), jumpa darat dilakukan di Purwokerto, sembari survei lokasi ke Wlaharwetan.
Akhirnya, kerjasama produksi film mereka disepakati. Jadwal kerja dan pembagian tugas disusun oleh Gedhe, Pemdes Wlaharwetan dan Impro. Pengambilan gambar akan berlangsung empat hari, 22-25 Maret 2016. Ketiganya bertekad untuk menunjukkan desa punya cara dalam berdemokrasi, yaitu Rembug Desa. Tekad itu yang menjadi alasan itu pembuatan film dokumenter.
Sukses…dan semoga ada rmanfaat untuk desa2 lainnya
Proses pembelajaran demokrasi merupakan salah satu unsur membangun ketahanan masyarakat. Realitasnya proses-proses demokrasi kita di dalam musyawarah desa atau rembug pada umumnya masih mempertontonkan drama elite desa.
Perlu kiranya kita membedah anatomi dari demokrasi yang sedang dibangun, apakah model keterlibatan, model pengambilan keputusan, bentuk konsensus yg dihasilkan, pengembangan suasana bathin kedemokrasian desa, bentuk aturan main dalam proses-proses musyawarah.
Musyawarah desa dengan pelbagai sebutan berbeda atau lainnya akan berbeda dengan model musyawarah perencanaan desa. Apa perbedaannya kita kupas di lain kesempatan.
Penggunaan media film pada dasarnya bukan sekadar alat dokumentasi dan pembelajar, tetapi seperti yang dikembangkan di Desa Jatisura film menjadi model Musrenbang dan musyawarah desa untuk menghimpun gagasan dengan kreativitas sekali meningkatkan kapasitas warga dalam membuat film itu sendiri, mengorganisasi masyarakat, mengapresiasi karya, dan lain-lain. Musyawarah desa dalam perencanaan pembangunan biasa diberi tajuk sharing kekuasaan dan kedaulatan ruang. Agenda ini di buat menjadi agenda rutin utk memperkaya khasanah Musrenbang dan Musdesa dengan didukung fasilitator luar “luar sekali” alias orang asing utk melakukan transformasi gagasan, kreativitas, ilmu pengetahuan, dan lain-lain.
Pembuatan film Dokumenter yang akan dibuat di Desa Wlaharwetan ada baiknya dilakukan terlebih dahulu FGD multipakar untuk membangun keutuhan cerita dan anatomi musyawarah yang sedang dibangun.
Membangun orisinilitas susana sangat diperlukan agar proses tidak memperlihatkan proses dramatisasi, sehingga mendekatkan slat menjadi hal yang perlu diperhatikan, menghindari efek “gumun” yang sering kecolongan dalam pengambilan gambar.
Sekedar memberikan pandangan untuk Yossy dan sedulurku di Purwokerto dan untuk nambah-nambah kemumetan dari opiniku. Sukses bro
Usulan Kang Tardjo semuanya dapat diterima. Gagasan membuat film dokumenter sendiri datang pelakunya, yaitu Kades Wlaharwetan. Latar belakang yang terbersit dibalik pembuatan film adalah ‘kegalauan’ pemdes dan masyarakat desa atas praktik musyawarah desa yang dipahami sekadar demokrasi prosedural. Karena dianggap sekadar prosedur maka mereka cukup puas memenuhi prasyarat-prasyarat administrasi dibanding memperbincangkan substansi. Kondisi ini justru menimbulkan banyak pergunjingan di masyarakat yang tidak produktif. Tiga isu yang diusung oleh Wlaharwetan dapat menjadi bahan refleksi bagi desa-desa yang pasti menyelenggarakan musyawarah desa.
GEDHE FOUNDATION merupakan organisasi penggerak desa yang ikut seta membangun desa agar desa yang belum dikenal menjadi dikenal, desa yang belum maju menjadi maju, desa yang belum mengenal ilmu tekhnologi menjadi tahu apa itu ilmu tekhnologi, namun organisasi ini juga harus mengeluarkan program kegiatan yang baru dalam membangun desa, agar organisasi ini lebih dikenal, dan dipercaya oleh masyarakat luas dalam mengembangkan desa diseluruh jajaran nusantara indonesia…