- Open Source Bukan OS Alternatif - 3 Juli 2020
- Mengapa Dunia Pendidikan Harus Belajar Gunakan Open Source Software - 9 Maret 2020
- Strategi Tingkatkan Angka Partisipasi Sekolah - 5 Maret 2020
Konstitusi menjamin akses pendidikan sebagai hak dasar warga negara. Pemerintah (baca: kabupaten) bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan hingga jenjang pendidikan menengah. Saat ini, masih banyak warga yang belum mampu mengakses layanan pendidikan, terlihat dari rendahnya capaian Angka Partisipasi Sekolah (APS), terutama pada jenjang pendidikan menengah.
Sebagai hak dasar warga, urusan akses pendidikan musti ditempatkan sebagai prioritas utama. Secara nasional, untuk memenuhi hak itu, pemerintah mencanangkan program wajib belajar. Pemerintah Jokowi-Ma’ruf Amin mengusung tagline “SDM Unggul, Indonesia Maju” sebagai bentuk komitmen akan pentingnya pembangunan sumber daya manusia di Indonesia.
APS merupakan indikator dasar untuk melihat akses penduduk pada fasilitas pendidikan, khususnya bagi penduduk usia sekolah. Semakin tinggi APS menunjukkan semakin besar jumlah penduduk yang berkesempatan mengenyam pendidikan. Sebaliknya, semakin rendah APS menunjukkan semakin besar penduduk yang tidak mampu merasakan layanan pendidikan.
APS hanya salah satu indikator kualitas pendidikan, lainnya ada Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM). Sepengetahuan penulis, APS, APK, dan APM memiliki banyak kesamaan dan kemiripan, bedanya pada urusan kedetailan, pun bedanya sangat tipis.
Dunia Pendidikan di Kabupaten Cilacap
Untuk urusan APS, para penentu kebijakan di Kabupaten Cilacap harusnya tidak bisa tidur nyenyak. Untuk memudahkan khalayak memahami urusan ini, penulis membatasi pembahasan pada APS saja. Data-data APM sedikit disinggung sebagai bahan pembanding. Indikator lainnya tidak dibahas secara khusus dalam tulisan ini.
Berdasarkan Statistik Daerah (BPS: 2019), APS Kabupaten Cilacap untuk kelompok umur 7-12 tahun tercatat sebesar 99,70 prosen. Ini artinya dalam 100 anak usia 7-12 tahun terdapat 1 anak yang tidak bersekolah.
Untuk APS kelompok umur 13-15 tahun tercatat sebesar 97,38 prosen. Artinya, dari 100 anak usia 13-15 tahun terdapat 3 anak yang tidak bersekolah. Sementara APS pada kelompok usia 16-18 tahun tercatat 68,12 prosen, yang berarti dari 100 anak usia 16-18 tahun terdapat 32 anak yang tidak bersekolah.
Dari dokumen yang sama diketahui APM pada jenjang SD/MI/Paket A sebesar 99,39 prosen, jenjang SMP/MTs/Paket B sebesar 82,52 prosen, sedangkan jenjang SMA/MA/Paket C sebesar 60,23 prosen. Artinya, Kabupaten Cilacap belum mampu menuntaskan program wajib belajar karena ada 17,48 prosen penduduk usia sekolah tidak mampu merasakan indahnya dunia sekolah. Situasi semakin miris untuk jenjang SLTA sederajat yang menyisakan 39,77 prosen penduduk tak bisa merasakan bangku sekolah.
Data di atas menunjukkan besarnya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Kabupaten Cilacap, terlebih APS menjadi ukuran daya serap lembaga pendidikan terhadap penduduk usia sekolah. Tulisan ini mencoba untuk menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh pada peningkatan APS, sekaligus strategi yang musti ditempuh untuk mendongkrak APS.
Faktor yang Mempengaruhi Angka Partisipasi Sekolah
Paramata (2012) telah melakukan penelitian untuk topik serupa di Kabupaten Bogor, yaitu menyelidiki faktor-faktor yang diduga mempengaruhi rendahnya tingkat partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal. Setidaknya ada empat faktor yang dianalisis, yaitu faktor internal pendidikan, faktor kondisi masyarakat, faktor karakteristik wilayah, dan ketersiaan dana pendidikan.
Pertama, faktor internal pendidikan, meliputi : (a) ketersediaan daya tampung yang dalam hal ini diwakili oleh ketersediaan jumlah ruang kelas yang layak pakai, (b) ketersediaan guru yang berkualifikasi, dan (c) kualitas penyelenggaraan pendidikan yang diwakili oleh jumlah sekolah terakreditasi. Untuk mengetahui pengaruh faktor ini pada tingkat partisipasi sekolah digunakan metode analisis regresi linear berganda.
Kedua, faktor kondisi masyarakat, meliputi (a) penghasilan orang tua, dengan membandingkan antara penghasilan yang berada di bawah dan di atas UMK, (b) pendidikan orang tua, dengan membandingkan antara orang tua yang berpendidikan SD ke bawah dan yang berpendidikan SMP ke atas, (c) minat anak bersekolah, dengan membandingkan antara anak yang berminat sekolah dengan anak yang tidak berminat sekolah, dan (d) jenis kelamin anak, dengan membandingkan antara laki-laki dan perempuan.
Ketiga, faktor karakteristik wilayah, dengan membandingkan antara karakter pertanian, perdagangan jasa dan industri. Metode analisis regresi logistik biner digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor kedua dan ketiga.
Keempat, faktor ketersediaan dana pendidikan. Untuk mengetahui hubungan antar variabel serta analisis rasio kemandirian pendanaan pendidikan di kabupaten digunakan metode analisis korelasi.
Lalu, apa hasilnya?
Untuk faktor pertama, ketersediaan daya tampung memiliki pengaruh secara signifikan terhadap APM. Ketersediaan guru yang berkualifikasi dan jumlah sekolah yang terakreditasi tidak berpengaruh signifikan terhadap capaian APM. Penambahan satu prosen jumlah ruang kelas yang layak pakai akan meningkatkan 7,69 prosen APM, penambahan satu prosen jumlah guru yang berkualifikasi akan meningkatkan capaian APM sebesar 0,08 prosen, dan penambahan satu prosen jumlah sekolah yang terakreditasi hanya mampu meningkatkan capaian APM sebesar 0,05 prosen.
Faktor kedua, variabel pendidikan orang tua berpengaruh secara signifikan terhadap partisipasi sekolah. Orang tua yang berpenghasilan di atas UMK dan berpendidikan SMP ke atas lebih berpeluang menyekolahkan anaknya daripada orang tua yang berpenghasilan di bawah UMK dan berpendidikan SD ke bawah. Anak yang berminat sekolah dan berjenis kelamin perempuan lebih berpeluang untuk bersekolah pada jenjang pendidikan menengah dibandingkan dengan anak yang tidak berminat sekolah dan laki-laki.
Untuk faktor karakteristik wilayah menunjukkan bahwa wilayah pertanian dan perdagangan/jasa berpengaruh signifikan terhadap partisipasi sekolah. Penduduk yang bertempat tinggal di wilayah yang berkarakteristik perdagangan/jasa lebih berpeluang untuk bersekolah dibandingkan dengan penduduk di wilayah industri dan pertanian.
Untuk faktor keempat, ketergantungan pemerintah kabupaten terhadap dana bantuan dari pemerintah pusat dan provinsi semakin lama semakin meningkat. Hal ini terlihat dari semakin menurunnya rasio kemandirian daerah dari tahun ke tahun.
Sembilan Strategi Meningkatkan Angka Parsitipasi Sekolah
Karena itu, Paramata menyarankan sembilan strategi untuk mendongkrak angka partisipasi sekolah, meliputi dua strategi agresif, dua strategi stabilitasi/rasionalisasi, empat strategi diversifikasi, dan satu strategi defensif, yang terintegrasi dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) berdurasi lima tahun.
Pertama, strategi optimalisasi pemanfaatan pendanaan pendidikan menengah. Strategi ini diimplementasikan ke dalam dua program, yakni kerjasama pendanaan pendidikan dan penggalangan dana pendidikan untuk wajib belajar 12 tahun.
Kerjasama pendanaan dapat ditempuh melalui kegiatan penandatanganan kerjasama dengan dunia usaha dan industri pada tahun pertama, sedangkan penggalangan dana pendidikan dapat ditempuh melalui Gerakan Sadar Menabung siswa sembilan tahun yang bisa dilakukan pada tahun keempat.
Kedua, meningkatkan aksesibilitas pendidikan di wilayah tertentu, terutama di wilayah pertanian, dengan dukungan fasilitas pendidikan. Pada tahun pertama dimulai dengan pengadaan lahan dan kemudahan perizinan bagi pembangunan sekolah baru. Pembangunan sekolah baru dapat dilakukan pada tahun ketiga, dan pembangunan sekolah berbasis karakter wilayah dilakukan pada tahun kelima.
Ketiga, strategi optimalisasi aksesibilitas pendidikan berdasarkan kebutuhan wilayah, terutama di wilayah pertanian, melalui peningkatan daya tampung siswa dan penataan guru. Peningkatan daya tampung dapat ditempuh melalui tiga kegiatan, yaitu pendirian SD-SMP-SMA satu atap pada tahun kedua, penambahan waktu operasional sekolah yang memungkinkan dilaksanakan pada tahun ketiga, dan penambahan ruang kelas baru yang bisa dimulai pada tahun keempat.
Sedangkan penataan guru dapat ditempuh melalui tiga kegiatan, yaitu relokasi guru pada tahun pertama, pemberian insentif bagi guru khusus di wilayah tertentu pada tahun kedua, dan rekrutmen guru daerah yang bisa dilaksanakan pada tahun ketiga.
Keempat, strategi memperbaiki kualitas sarana dan prasarana pendidikan di wilayah yang membutuhkan. Strategi ini diimplementasikan ke dalam satu program, yakni perbaikan sarana dan prasarana pendidikan melalui rehabilitasi ruang kelas pada tahun kedua dan akreditasi lembaga pendidikan pada tahun kelima.
Kelima, strategi pemberian jaminan pendidikan daerah bagi siswa. Strategi ini diimplementasikan ke dalam satu program, yakni bantuan daerah untuk siswa melalui pemberian beasiswa daerah dimulai pada tahun ketiga.
Keenam, strategi meningkatkan pemahaman masyarakat tentang wajib belajar 12 tahun. Strategi ini diimplementasikan dalam kegiatan sosialisasi wajib belajar 12 tahun yang ditempuh melalui kegiatan Gerakan Sadar Sekolah 12 tahun yang dimulai pada tahun pertama.
Ketujuh, strategi meningkatkan kepedulian penyelenggara pendidikan terhadap masyarakat. Strategi ini dapat dilaksanakan dengan tiga kegiatan, yaitu pemberlakuan kuota siswa khusus untuk sekolah peduli lingkungan pada tahun keempat, pemberian beasiswa oleh sekolah swasta pada tahun kelima, dan penerapan sekolah murah bagi siswa kurang mampu pada tahun kelima.
Delapan, strategi meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Strategi ini diimplementasikan dengan peningkatan peran komite sekolah yang ditempuh melalui kegiatan optimalisasi komite sekolah pada tahun ketiga.
Sembilan, strategi meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Strategi ini diimplementasikan dengan optimalisasi kegiatan-kegiatan lintas sektor yang dapat dimulai pada tahun kedua.
Penutup
Penulis berharap tulisan ini bisa menjadi pemantik diskusi lintas pelaku di Kabupaten Cilacap. Sembilan strategi yang ditawarkan oleh Paramata di atas dapat menjadi dasar untuk menyusun tiga kebijakan prioritas, yaitu (1) kebijakan optimalisasi pendanaan pendidikan menengah, (2) kebijakan peningkatan faktor internal pendidikan, dan (3) kebijakan peningkatan kondisi masyarakat.
Komitmen politik (political will) untuk mendongkrak APS Kabupaten Cilacap, khusus pendidikan menengah, dari pihak eksekutif dan legislatif sangat diperlukan. Kemauan dan keterbukaan semua pihak (pemerintah, masyarakat, dan privat sektor) untuk membangun kolaborasi kerja yang kuat juga diperlukan.
Permasalahan rendahnya APS harus menjadi dasar penyusunan RPJMD, RKPD, dan APBD Kabupaten Cilacap sehingga tidak lahir generasi penerus yang tanpa pengharapan (lost hope). APS memang bukan penentu utama peningkatan Indek Pembangunan Manusia, tapi APS menjadi prasyarat dasar bagi generasi emas di Kabupaten Cilacap.