- Open Source Bukan OS Alternatif - 3 Juli 2020
- Mengapa Dunia Pendidikan Harus Belajar Gunakan Open Source Software - 9 Maret 2020
- Strategi Tingkatkan Angka Partisipasi Sekolah - 5 Maret 2020
Sejak Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 disahkan, pemerintah menggenjot isu pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Banyak desa sukses mengembangkan BUMDes sebagai lembaga bisnis desa, sebaliknya tak sedikit yang gagal. Selain masalah sumber daya manusia, sulitnya akses permodalan menjadi faktor penyebab banyak BUMDes layu sebelum berkembang.
Urusan sumber daya manusia (SDM) menyangkut ketersediaan tenaga kerja yang memiliki visi bisnis yang bagus, kompetensi menangani unit usaha, jaringan kerjasama yang minim, dan pengaruh moral hazard kepemimpinan di desa. Tak sedikit BUMDes dikelola sebagai bisnis sampingan akibat dukungan SDM yang terbatas.
Sebagian BUMDes masih menggantungkan pada penyertaan modal oleh pemerintah desa melalui Dana Desa (DD). Akses pemodalan di luar DD masih terbentur dengan kebijakan perbankan yang belum menetapkan BUMDes sebagai bentuk badan hukum usaha. Akibatnya, BUMDes masih sulit mengakses permodalan, terutama pada lembaga perbankan.
Situasi dilematis seperti ini mengakibatkan pihak perbankan sedikit galau. Secara bisnis, sejumlah unit usaha dalam BUMDes memiliki prospek yang bagus, terutama pengelolaan wisata, usaha tani, dan sektor jasa lainnya. Namun, perbankan masih terbentur pada regulasi untuk menyalurkan modal kepada BUMDes akibat adanya tumpang-tindih kebijakan.
Sebagai contoh, regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) hanya membolehkan penyaluran kredit pada dua kategori, yakni perorangan dan badan usaha berbadan hukum. Sebagian besar pembentukan dan pendirian BUMDes berdasar payung hukum peraturan desa (Perdes), bentuk kategori baru di luar perorangan maupun badan hukum usaha.
Permasalahan tersebut dapat dipecahkan melalui pendekatan kerjasama dan kemitraan yang melibatkan berbagai pihak. Setidaknya ada lima pelaku yang dapat bekerja secara kolaboratif untuk pengembangan BUMDes, yaitu akademisi (academic), dunia usaha (business), masyarakat (community), pemerintah (goverment), hingga media massa (media).
Pendekatan ini disebut model pentahelix atau ABCGM. Model kerjasama ini mengandaikan kelima aktor itu dapat bekerjasama secara sinergis dan saling menguatkan untuk tercapainya percepatan usaha. Kualitas dan kolektivitas kelima aktor akan mempengaruhi dukungan market (pasar), jejaring, dan regulasi.
Gedhe Nusantara (2020) mencatat ada sejumlah desa telah mengembangkan bentuk pendanaan BUMDes melalui pemanfaatan dana CSR (corporate social responsibility) sangat dimungkinkan. Ambil contoh, BUMDes Makmur Rejo, Desa Bandungrejo mengelola usaha ayam petelur dengan dukungan Operator Lapangan Gas Jambaran-Tiung Biru (JTB), Pertamina EP Cepu. Dalam sehari, mereka mampu meraup omset Rp 3.200.000,-
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mapun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) juga dapat bekerjasama dan bermitra dengan BUMDes untuk meningkatkan produktivitas masyarakat. Desa Sanankerto mampu membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) untuk memasok kebutuhan listrik di kawasan Ekowisata Boon Pring dengan dukungan Dana CSR Bank Nasional Indonesia (BNI).
Pendekatan penthahelix juga bisa diwujudkan dalam bentuk program inkubasi bisnis bagi unit usaha BUMDes. Di sinilah lahir istilah one village one company (OVOC) sebagai bentuk intermediasi kekuatan ekonomi lokal di desa. Pelaku dan unit bisnis BUMDes akan merasakan hadirnya ekosistem bisnis yang kondusif menggerakkan roda ekonomi desa berbasis optimalisasi potensi dan sumber daya desa.
Tak dipungkiri, tiga tahun terakhir, kehadiran BUMDes telah mendongkrak ekonomi masyarakat perdesaan sehingga mereka mampu meraih kehidupan yang lebih baik. Pendekatan penthahelix menjadi jalan keluar efektif untuk mewujudkan BUMDes yang kuat dan mandiri. Mari kerja bersama!