Latar Belakang
Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum asli yang ikut melahirkan pranata Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Setiap kesatuan masyarakat hukum memiliki nama, pola kepemimpinan, pranata sosial, kewilayahan, kewenangan, dan kebudayaan yang unik sehingga membentuk tata kehidupan masyarakat yang harmonis, tentram, dan menyejahterakan. Tak heran, desa selalu menjadi landasan bagi kegiatan pemerintahan dan pembangunan.
Merujuk pada konstitusi Pasal 18 dan Pasal 18B ayat (2), sebagai kesatuan masyarakat hukum, desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sayang, semangat pengakuan dan penghargaan negara atas desa yang tertuang dalam konstitusi belum mampu diwujudkan dalam tata perundang-undangan yang tepat. Akibat salah urus, desa justru terperosok dalam ruang ketidakberdayaan dan keterbelakangan akibat selalu ditempatkan sebagai objek pembangunan.
Dalam rentang sejarah Indonesia, desa pernah diatur dalam pola yang seragam melalui UU No 5 tahun 1979 tentang Pemerintah Desa. Regulasi ini menempatkan desa sebagai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat. Tata kelola desa dikontrol secara seragam dan ketat demi menciptakan stabilitas sosial dan politik di era Orde Baru. Desa juga diperankan sebagai mesin rezim penguasa untuk menyukseskan mantra pembangunan yang menjadi ideologi Orde Baru.
Perubahan baru datang setelah Orde Baru runtuh, melalui UU Otonomi Daerah, tata kelola semakin menegaskan luwes dan demokratis. Penamaan desa disesuaikan dengan identitas asli, seperti gampong (Aceh), Nagori (Sumatra Utara), Nagari (Sumatra Barat), Desa (Jawa), Banjar (Bali), dan Kampung (Papua). Namun, pengaturan desa masih dilakukan dengan cara yang seragam yaitu Kepala Desa sebagai eksekutif dan Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai legislatif. Cara pengaturan itu berlawanan dengan watak desa yang masih komunal dan kekeluargaan. Alih-alih membawa tatanan desa yang kuat, kebijakan itu justru melahirkan konflik antara Kepala Desa dan BPD.
Dalam sejarah perubahan desa, Gerakan Desa Membangun, selanjutnya disingkat GDM, ditempatkan sebagai model perubahan kolektif desa-desa akibat proses belajar bersama yang didukung oleh teknologi informasi dan komunikasi. GDM dideklarasikan pada lokakarya desa yang diselenggarakan Pemerintah Desa Melung pada 24 Desember 2011. Lokakarya ini diikuti oleh beragam kalangan, seperti kepala desa, perangkat desa, pekerja sosial, pegiat lingkungan, praktisi teknologi informasi, dan dunia pendidikan.
Tiga Pilar Desa Membangun
Gerakan Desa Membangun mewadahi para pegiat desa untuk menciptakan ruang belajar kolektif dalam tata kelola sumber daya desa. Inisiatif dan kemampuan desa dalam mengelola sumber daya yang ada di wilayahnya menjadi modal dasar untuk mewujudkan desa yang kuat, maju, dan mandiri. Teknologi informasi merupakan sarana belajar yang mampu menjembatani para pegiat desa di berbagai daerah di Indonesia.
Teknologi Informasi Komunikasi di Perdesaan
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi menjadi harapan baru bagi desa untuk melakukan lompatan sejarah. Desa mulai memanfaatkan website untuk mengarusutamakan isu perdesaan pada ruang publik yang lebih luas.
Advokasi Kebijakan Desa
Pada tahun kedua, Gerakan Desa Membangun melihat ada hambatan struktural yang berpotensi menjadi batu sandungan bagi desa-desa yang tengah menata sumber daya di wilayahnya.
Parlemen 2.0
Parlemen 2.0 merupakan Program GDM untuk mengawal pembahasan RUU Desa melalui interaksi online antara masyarakat desa dengan Pansus RUU Desa di DPR. Untuk menjembatani interaksi itu, ada tiga kegiatan utama, yaitu (1) publikasi kegiatan sidang melalui video streaming; (2) Acara nonton bareng (nobar) sidang DPR di desa-desa; serta (3) membangun komunikasi dua arah DPR dan Desa melalui media sosial (twitter).
Program Parlemen 2.0 mendapat apresiasi positif dari banyak pihak sehingga memudahkan penggalangan opini publik. Hampir semua pimpinan Pansus RUU Desa mau terlibat dalam interaksi itu, khususnya Ahmad Muqowam (Ketua Pansus), Budiman Sudjatmiko (Wakil Ketua), Khotibul Umam Wiranu (Wakil Ketua), dan lainnya. Masyarakat desa, khususnya pemerintah desa, juga antusias karena program ini memfasilitasi mereka untuk berkomunikasi dengan para legislator yang tengah menggodok RUU.