Konten kreator HAY Bakti Nusantara, Elok Dinda Pratiwi, menyatakan bahwa masifnya penetrasi internet di Indonesia telah melahirkan profesi baru, yakni kreator konten, sebagai sebuah aktivitas ekonomi. Dengan 210 juta pengguna internet di dalam negeri, profesi ini tumbuh subur, bahkan kini mulai merambah ke masyarakat perdesaan.
Pernyataan ini disampaikannya dalam Serial Diskusi Perancangan Modul Produksi Video Pembelajaran bertopik “Internet dan Konten Kreator”, Senin (6/3). Menurut Elok, pengguna internet di Indonesia yang menghabiskan waktu 1-5 jam per hari, kini tidak lagi sekadar mengakses informasi.
“Mereka juga memproduksi konten sebagai aktivitas ekonomi,” ujarnya.
Elok menjelaskan bahwa fenomena content creator (individu) dan content provider (perusahaan) ini sebenarnya sudah dimulai sejak 2010. Hal ini ditandai dengan perkembangan pesat media sosial yang sangat memudahkan netizen untuk berbagi konten.
“Media sosial bikin netizen ‘keranjingan’ berbagi. Mereka memanjakan para penggunanya dengan kemudahan untuk mengunggah tulisan, foto, video, share location, bahkan menandai teman-teman mereka,” jelas Elok.
Ia mencontohkan YouTube sebagai platform berbagi video yang paling menyita perhatian publik. Para kreator di platform tersebut, yang populer disebut Youtuber, sempat menjadi profesi yang sangat diminati karena menawarkan keuntungan finansial yang besar.
“Sejumlah Youtuber di Indonesia mampu meraup keuntungan finansial yang cukup fantastis, tak sedikit selebritis yang justru memilih Youtube sebagai media bisnis dan berekspresi,” lanjutnya.
Menurut Elok, ada banyak alasan yang menggerakkan seseorang menjadi kreator, mulai dari berbagi pengetahuan, media ekspresi diri, mencari popularitas, mengembangkan jaringan kerja, hingga faktor cara kerja yang fleksibel.
Tren Kreator Desa dan Urgensi Pemahaman Hak Cipta
Elok Dinda Pratiwi menambahkan, tren menjadi kreator konten kini juga telah memengaruhi masyarakat desa. Menurutnya, warga desa mulai aktif berkreasi melalui karya video yang memuat ide-ide atau gagasan tentang kondisi, potensi, dan permasalahan di desa mereka.
“Untuk memperkaya gagasan, seorang videomaker desa perlu mendapatkan pengetahuan tentang desa serta menemukenali diri sebagai pencipta konten,” katanya. Ia menekankan pentingnya kreator desa membekali diri dengan pemahaman kebijakan pembangunan desa dan SDGs Desa agar karya mereka memiliki nilai tambah.
Namun, di tengah maraknya profesi ini, Elok memberikan catatan tegas mengenai pentingnya literasi digital, khususnya terkait hak cipta.
“Pekerjaan konten kreator terkait dengan kerja kreatif, karena itu dia harus paham tentang hak cipta,” tegas Elok.
Ia memaparkan, pemahaman atas regulasi hak cipta sangat penting untuk melindungi karya kreator dari berbagai usaha jahat seperti penggandaan, penggunaan, dan distribusi konten tanpa izin, serta plagiasi.
Elok merinci dua bentuk pelanggaran hak cipta yang sering terjadi. Pertama adalah plagiat atau penjiplakan, yakni mengakui ciptaan orang lain seolah-olah milik sendiri.
“Kedua, mengambil ciptaan orang lain untuk diperbanyak dan diumumkan sebagaimana aslinya tanpa mengubah bentuk isi, pencipta, dan penerbit. Perbuatan ini disebut dengan pembajakan,” jelasnya.
Ia juga mencontohkan pelanggaran lain seperti cover lagu untuk tujuan komersial tanpa izin, live streaming pertunjukan tanpa persetujuan pemilik, hingga pembajakan film yang dikomersialisasikan melalui YouTube.

